Sesering apapun aku di kabari, tetapi aku tidak pernah bisa menggantikan posisi perempuan dambaanmu yang kau kagumi. Aku kalah. Dengan realita yang membuat lukaku menjarah.
Bahkan aku tak nyata, aku tak pernah bisa nyata di matamu. Aku bukan utuh yang bisa memeluk ragamu ketika rapuh.
Ketakutan itu terjadi. Bagaikan kilat, gemuruhnya menyambar sayap yang belum sembuh. Yang masih patah, dan kini ia patah untuk kesekian kali.
Mama melihatku baik-baik saja, karena aku adalah kebohongan yang nyata. Aku adalah manipulasi yang sebenernya angkat tangan dengan hidup ini.
Aku selalu menipu perasaan sendiri. Berkata bahwa aku takkan jatuh cinta. Hanya kebohongan kecil, yang mengakar kemudian membunuhku dengan nelangsa.
Rintik hujan turun satu-persatu dari pelupuk mata, aku memeluk tubuhku sendiri. Tidak ada yang peduli. Karena aku menyimpan rahasia ini dengan hati-hati.
Perhatianmu, bahasa indahmu, suaramu yang mengalihkan duniaku, semuanya berakhir di bulan Juli. Akankah aku membenci?
Iya, kepada perasaanku sendiri.
Kamu bilang akan selalu ada. Tetapi kenyataannya berbeda.
Kamu bilang kamu ngga akan pernah pergi, meninggalkan diriku di balut sepi. Sendirian, lagi-lagi.
Tetapi kamu melangkahkan kaki.
Well... that’s how life work didn’t it?
People come and go, tetapi bolehkah aku memaksa memintamu menjadi temanku sampai mati?
Waktu dengan cepat berubah. Aku telat belum menuliskan akhiran “semoga kita menjadi dua orang yang sama-sama takut kehilangan”. Yang menjadi rapalan doa, semoga kita bertahan lama.
Kenyataan yang sebenarnya, kamu baik-baik saja tanpa aku di dalam duniamu. Kamu sengaja tak membalas pesan terakhirku, karena kamu telah sibuk menjalani hidupmu bersama kekasih baru.
Hatiku tercabik-cabik, waktu yang pas untuk membuat puisi patah hati.
Selamat, nona. Kamu menang mendapatkan hati bajingan itu.
Tenang saja, aku tak akan mengganggu hubunganmu. Aku hanya akan menahan diriku untuk tidak lagi menulis tuan mu yang menjadi judul puisiku.
Aku akan belajar merelakan. Meskipun aku tak berjanji mengusahakan.