komettarius
3 min readAug 24, 2023

Aku pernah merasakan hari dimana saat bersamamu aku tenang.

Melihat mata teduh itu sambil bergumam,

“Siapa ya perempuan beruntung yang berkesempatan memiliki kedua mata indahmu? Yang bisa melihat jelas setiap pagi menjelang dan kamu kecup keningnya ketika malam pun datang”

Aku menghela nafas pelan, tersenyum lirih merelakan.

Kamu menuntunku ketika aku tersesat di jalan. Menggandeng tanganku sambil tersenyum dan bersenda gurau. Mengajakku menyelam ke dalam hidupmu yang seru, haru, biru maupun abu-abu, dan aku tertantang untuk berenang lebih dalam sampai titik darah penghabisan.

Lalu kamu menarikku dengan lembut selembut awan yang merelakan hujannya, mengajarkanku perihal batin yang mengganggu ketentraman jiwa, mengenalkanku pada Hindia yang kini lagunya enggan ku dengar karena kamu berpengaruh di tiap liriknya, mengasihi keberadaanmu yang kurang kasih sayang katanya, menyayangiku layaknya kekasih yang selama ini kau cari, mempercayakanku bahwa kau tidak pernah pergi dan membiarkan aku sendiri.

Mengetahui bahwa rumahmu tak berantakan dan aku ingat bagaimana kau berbagi kisah tentang ibumu yang memeluk ragamu ketika mimpi buruk berkalut menghampiri ikatan batin kalian yang saling bertaut. Demi tuhan aku iri dan tanpa kau tahu air mata ini membanjiri pipi melihat keluarga besarmu yang hangat atau kedekatan dengan kakekmu yang sering berbincang membahas konspirasi dunia dengan lekat, yang tidak pernah kurasakan selama tujuh belas tahun ketika rohku di tiupkan oleh Sang Pencinta Taat.

Aku telah tenggelam dan rasanya menyiksa seperti di rajam.

Pada akhirnya kamu enggan menetap. Kamu membiarkan aku terpenjara dan menjadi pesakitan dilanda pengap.

Kamu pernah berkata bahwa kamu tidak akan pernah menjadi sosok yang lupa perihal aku. Tapi apakah kamu sadar bahwa janji itu telah kamu langgar? Apa kamu lupa bahwa aku punya trauma yang terlantar?

Kehilanganmu membuatku merana.

Sikapmu yang lebih rumit dari matematika tak mampu ku tebak dengan akal sehat yang ku punya.

Kepergianmu menyisakan rindu yang menerka.

Mengapa? Kamu tetap sama seperti yang lainnya yang pergi di saat aku sudah jatuh-jatuhnya.

Pada waktu aku menikmati kesedihan ini, setiap hari makanku hambar dan menangis sampai bibir bergetar adalah bagian dari keseharian yang tak luput absen.

Aku tahu kamu takkan lagi peduli, tapi aku mau ketika kamu menemukan larik-larik sajak ini kamu mengingatku. Sekali saja. Tak apa sebagai orang asing yang pernah menyusup di hidupmu, yang kemudian berperan sebagai orang yang sok tahu tentangmu.

Sadar diri sudah jadi santapan kepada diri ini yang tak tahu diri bahwa kamu pantas mendapatkan perawan hebat yang punya deretan kesibukan di banding aku yang pengangguran, yang lebih pantas kamu junjung tinggi-tinggi seakan dia paling berharga di dunia, yang kamu lindungi ketika dia di tikam luka, dan yang tanpa segan membagi seluruh kasih sayang yang kau punya untuknya.

Waktu membawamu dan tinggal lah aku dengan melakoni hidup sementara dengan diam membisu.

Kalau akhirnya seperti ini, mengapa dirimu membawaku terlalu jauh?

Sudah lah, aku lelah berdebat dengan pikiranku dini pagi ini hanya karena ingin mengulang waktu agar bisa sepanjang hari bersamamu dan cerita-cerita lucumu itu. Letih menyalahi diri sendiri di jam 3 pagi kenapa kau justru lari dan memilih untuk tak mengenalku lagi.

Dari aku yang malu malu menyebut namamu hingga akhirnya sering ku ucapkan untuk ku layangkan di barisan doa, di perjamuan ini ku hidangkan sebuah utas tentang tangis yang lepas dan cinta yang tak pantas.

komettarius
komettarius

Written by komettarius

Hanya manusia biasa yang gemar mengais kata-kata.

No responses yet