lembaran baru yang biru
Pada mendungnya nabastala yang belum memudar dan seonggok bunga mawar di kebun paman yang menolak mekar, aku menemukan sebuah rona baru malam ini yang menuntunku kepada lembaran baru.
Ia membisik malu-malu bahwa ada perasaan aneh sejak September bertamu.
Lewat sorot mata teduh itu, aku menemukan ketenangan yang belum pernah kutemukan sepanjang pelayaran. Bagaikan ombak riuh yang meggelora ; kemudian menenggelamkan aku pada teduhnya bait-bait metafora. Mendengar suaramu mengudara di gendang telinga, begitu indah lantunannya.
Acapkali melihatmu tanpa sengaja di perjamuan khusus para pembantu sekolah yang menyebalkan karena mengganggu waktu, kini berubah menjadi penantian yang paling aku tunggu.
Lalu cuap-cuap isi kepala bertanya,
“Kamu sosok yang seperti apa ya?”
Barangkali kamu adalah utusan semesta dari pengaduanku di jam tiga pagi sebab terlalu banyak hal-hal sedih yang terjadi. Atau lebih baik dibilang bahwa eksistensimu adalah penyelamat dari pedihnya masa laluku yang keparat.
Karenamu kudapati diriku yang hilang dan berdamai dengannya, ku temui riang yang sekian lama sirna ditelan lara, kubenahi diri agar tak membusuk bersama luka lama. Kau membawaku berlari dan tak perlu menengok ke belakang lagi.
Semenjak pertemuan tanpa rancangan bulan kemarin itu, diam-diam aku mulai mencarimu melalui celah jendela, barangkali bisa berjumpa. Atau pergi ke kantin melewati gedung baru, barangkali bisa menatap binar mata indahmu dalam bisu.
Meski kau tidak pernah tahu, bahwa aku… telah jatuh suka.