“Kamu terkadang menjadi mimpi buruk, namun juga terkadang menjadi obat bagi hariku yang telah lama busuk"
Aku tidak berbohong kalau se-menyenangkan itu ketika bersama denganmu. Selalu ada canda tawa serta rayuan manis khas buaya yang selalu berhasil meracik relung senyumku untuk bahagia. Setidaknya, kamu adalah utusan Tuhan yang membuat diri ini lebih menikmati kehidupan yang membosankan.
Aku tahu pasti, bahwa segala “kita" hanya akan menjadi aku dan kamu berakhir dengan perihal waktu. Entah mau menunggu atau di tunggu, masa-masa itu akan melaju. Dan nantinya kamu akan lupa, bahwa kita pernah bersama. Bahwa kita pernah bertukar cerita di kala malam menyapa, bahwa kita pernah sama sama tertawa atas lelucon yang di bawa, bahwa kita pernah berkeluh kesah sambil menganjing-anjingkan dunia, dan bahwa aku pernah berkali kali di buat bahagia lalu kemudian terluka.
Maaf. Aku lancang menulis “kita". Aku tahu kamu pasti keberatan untuk itu.
Karena ada satu bidadari di ujung dunia yang menunggumu. Seorang wanita cantik nan elok yang bukan hanya sekedar singgah melainkan sungguh yang menjadi tujuanmu. Suatu hari nanti, aku tahu itu pasti akan terjadi.
Ku selipkan doa-doa di sepertiga malam di saat aku berbincang dengan Tuhan. Berbisik pelan-pelan dengan keraguan kalau jangan jemput aku dulu ke rumah yang sebenarnya. Aku mau melihat sejauh mata memandang perayaan Aamiin paling serius yang kamu selenggarakan.
Walau sebenarnya aku ingin menjadi bidadari itu, tetapi nyatanya aku ragu. Aku tak bisa menjadi seperti apa yang kamu mau. Aku tak bisa menjadi sayap yang bisa melindungi mu ketika kau di hantam pilu. Karena bisaku cuma menulis keindahanmu yang lebih sering melahirkan kesedihan.
Tetapi,
Boleh kah sekali-kali aku meminta meskipun sia-sia?
Maaf, Tuhan. Lagi-lagi aku memaksa.
Aku benci menjadi peduli. Karena peduli adalah pekerjaan suka rela paling menyebalkan. Bayang-bayang tentangmu mengalir deras dalam jalan pikiranku. Aku yang se-ngotot itu ingin menyeruak ke dalam hidupmu yang seru tapi juga sendu. Sampai aku terlupa bahwa kita tidak lebih dari sekedar angan-angan.
Aku dan kamu yang mustahil menjadi kita, nyata namun terasa fatamorgana. Perihal tidak pernah memulai supaya tidak ada kata usai.