Senin itu, kukira setelah pertemuan tiba-tiba yang mengejutkan dada punya lembaran selanjutnya. Kukira setelah sesi foto bersama itu adalah awal dari cerita tentang dua sejoli berbagi asa. Kukira, kami bisa jadi teman dan berkenalan lebih jauh sampai kamus habis dipakainya.
Memangnya, kamu mengira aku akan tahu namamu? Tahu kesibukanmu? Tahu lagu-lagu favoritmu? Tahu apa saja hal yang menjadi alasanmu tetap hidup hingga lampu dunia akhirnya redup? Lalu kenapa diam seribu bahasa seakan-akan kamu adalah enigma yang bisa dengan mudahnya aku baca?
Di surya yang tenggelam seringkali bertanya-tanya dari mana asal kemauanmu untuk satu bingkai foto denganku, apakah hanya untuk dikenang lalu berdebu sebab disapu waktu?
Apakah hanya itu tujuanmu?
Yah, sayang sekali. Kupikir kami bisa mencuri malam untuk bertukar cerita ; tentang bagaimana riuh riang selama belum genap tujuh belas tahun menapaki bumi, tentang rumitnya pengalaman hidup yang aku jalani, sekaratnya aku dibully mati-matian saat putih biru dongker menjadi seragam kebanggaan kami, atau tentang bagaimana aku bertahan hidup ketika penjara suci menghajar batinku hingga jadi seperti ini.
Barangkali, kamu dengan segenap hati sudi menyetrika hidupku yang berantakan dengan sebongkah warna selain abu-abu yang menyelimuti sekelilingku. Tapi, itu tak pernah ada di daftar hidupmu, ya?
Atau jika kamus bahasamu hilang makna, aku bisa tanya lebih dulu perihal.. bagaimana rasanya menjalani hari-hari sebagai siswa di sekolah kejuruan? Bagaimana rasanya jadi ketua OSIS yang kerap kali dikenal sebagai pembantu sekolah? Bagaimana tanggapanmu tentang lomba kemarin yang jadwalnya ngaret banget?
Dan bagaimana lainnya yang tak pernah sampai kepada pemiliknya.
Karena pada akhirnya kita hanya menjadi orang asing yang tak pernah saling.
Karawang, 13 november 2023.
Memangnya aku salah ya jadi manusia penuh harap? Bahkan untuk bisa berteman saja, kalian enggan membuka pintunya.