Antara Karawang dan Jakarta, tidak pernah ada kita

komettarius
2 min readNov 7, 2023

--

photo by pinterest

Kalau suatu hari nanti di sela-sela istirahat jam makan pukul dua siang setelah melepas penat dari latihan yang mengekang kamu menemukan tulisan ini dan menebak apakah aku kembali menulis paragraf tentangmu ? Si pemilik awalan huruf F yang sampai sekarang masih menghantui bayang-bayang di pikiranku, kukatakan itu benar.

Bukan karena aku rindu dengan sosok kita di masa lalu, dengan kamu yang belum berubah sebab dibawa waktu, dengan aku yang masih mau dibodohi oleh kalimat i love you, atau dengan aku yang memilih menyerah karena sudah ada satu perempuan yang membuatmu salah tingkah.

Bukan semua itu. Tapi karena.. aku tahu kamu tidak akan pernah memilihku.

Kembali kutulis bab tentangmu yang lebih menghadirkan duka lara dari seorang perempuan yang menggores luka di jam 3 pagi sebab mengetahui bahwa semua kasih sayang darimu adalah palsu.

Bersamamu sudah terhitung cukup lama. Aku mengenalmu cukup jauh, namun tak sejauh orang-orang yang kamu temui setiap hari.

Padahal aku ingin terus menulismu, merangkai larik-larik puisi indah untuk meninabobokan tidurmu dibawah temaramnya lampu kamar ber-cat abu. Tapi aku bingung apa lagi yang bisa kutulis perihal kamu?

Kita tidak pernah mengunjungi monas bersama. Sekadar menyusuri jalan tikus dilanjut dengan membeli es teh dua ribuan untuk melepas haus. Kamu juga tidak pernah mengajakku ke blok-m, berbondong-bondong naik LRT lalu ngopi di kafe favoritmu. Bahkan kita tidak pernah menonton film seperti yang kamu lakukan dengan mantan kekasihmu.

Pun, aku tidak pernah datang ke kotamu. Tidak pernah membuatkanmu nasi goreng, tidak pernah berkenalan dengan keluargamu ; ayahmu yang katanya penyayang namun garang, adikmu yang pernah mengunci pintu sebab malam mulai merangkak tapi rumah belum juga kau tapak, kakekmu yang hangat dan ia jadi orang pertama pemberi semangat, dan sepupumu yang banyak yang belum pernah kau kenalkan sebelumnya. Pengecualian dengan ibumu.

Bagaimana kabar ibumu disana? Apakah ia masih bertanya mengenaiku di saat kalian makan berdua? Apakah ia penasaran dengan kabarku? Apakah ia peduli akan daku?

Pada akhirnya “kita” hanyalah sepoian angin yang berlalu. “Kita” di matamu tidak pernah ada artinya.

Antara Karawang dan Jakarta, tidak pernah ada cinta.

Antara Karawang dan Jakarta, tidak pernah terjadi apa-apa.

Antara Karawang dan Jakarta, tidak pernah ada kita.

--

--

komettarius
komettarius

Written by komettarius

Hanya manusia biasa yang gemar mengais kata-kata.

No responses yet