Akhir-akhir ini isi kepalaku berkecamuk bersamaan dengan berisiknya gemuruh badai semesta yang mengamuk. Ia yang lihai menari-nari, dengan sedikit bernyanyi dibawah naungan awan mendung yang sedang menepi. Di balik pintu yang bisa kulakukan hanya menyeruput kopi sembari mencomot pisang goreng hangat buatan si bibi, meski tidak sehangat dekapan sang-tuan pada dini hari.
Terkadang aku tenggelam dalam tulisanku sendiri. Tulisan yang dibuat oleh segenap rasa euforia atau bahkan hati yang tengah berduka. Entah di jam tiga pagi, di saat mentari menyapa penghuni bumi, atau di tiap malam yang menjamukan sunyi.
Kepalaku menengadah pada langit-langit kamar berwarna putih disertai dinding lantai dua bercat abu. Lalu sayup-sayup terdengar gema suara manusia favoritku kala dulu. Yang (masih) mengenang rindu, tapi aku sudah tidak lagi terganggu. Aku hanya perlu menunggu sebagian rindu ini sirna sebab di sapu waktu. Hei, aku bukan lagi orang bodoh yang ingin kembali ke masa dimana aku lebih suka dibohongi.
Aku merasa tahun ini berhasil melahirkan ragam bentuk kecewa yang paling paripurna. Tapi bahkan sehancur apapun batinku, dunia masih berjalan seperti biasanya, kan? Dan waktu tetap bekerja untuk budak korporat demi mengais ambisi mereka.
Aku mati-matian terbang dengan sayap patah, membawa bekas luka pada tubuh kaku yang berdarah. Kemudian dipaksa untuk kembali melangkah padahal langkahku telah goyah. Aku berusaha tak menyerah, namun lagi-lagi aku kalah. Dan sampai di titik dimana aku kehilangan arah.
Ada rasa iri yang merambat ke ulu hati, memandang pencapaian orang lain dan bagaimana mereka adalah sebuah bunga bahagia bagi tangis orang tua yang tak jatuh sia-sia. Mereka yang bukan lain adalah harapan bangsa, mereka yang disanjung seakan-akan paling berharga di dunia, sementara aku merasa gagal jadi manusia.
Aku bukan lah seseorang yang patut dibanggakan. Bukan seorang ketua OSIS yang layak dipuja-puja, bukan seorang pejuang nilai untuk mengangkat derajat nama, bukan seorang taruni yang menghormati pejabat negara, bukan seorang atlit panjat tebing yang tidak pernah putus asa, bukan juga seorang murid yang memiliki segudang prestasi untuk membuktikan kepada dunia bahwa dia luar biasa.
Aku hanya lah manusia biasa-biasa saja yang sedang berusaha menjadi sosok berharga ; untuk layak dicinta.
Disaat orang lain sibuk memahat-mahat mimpi, dalam keheningan aku justru bertanya-tanya bagaimana cara mati tanpa dengan bunuh diri?
Aku terjerembab pada jerami yang menerkam kewarasanku. Air mata dan kecewa yang tak berkesudahan adalah puncak terciptanya mata yang sembab. Mau berjuta-juta kali menabung kesedihan di sudut kamar pun, tidak akan bisa mengubah apa yang sudah jadi takdir-Nya. Katanya, aku hanya perlu berlari meninggalkan ruang yang tak perlu kusinggahi lagi. Tapi apakah mereka tahu bahkan diri ini tersesat dalam hutan belantaranya sendiri?
Kobaran lautan api yang membara seperti rasa takut yang menguasai orang tuaku kalau-kalau anaknya gagal menjadi penerus bangsa. Dengan kegelapan yang merangkap isi kepala, aku harus pergi kemana?
Rumahku hancur lebur dan delisik angin yang menjalur menanam akar harapan yang kian menjalar. Membisikkan sebuah tanya, apa yang kuinginkan selama menaiki tangga menuju dewasa? Lalu kujawab saja, aku ingin menghabiskan sisa usia di ladang tandus yang setiap pagi menyemai kusirami puisi sambil berkata ; terkata ; aku ingin mati dengan kata-kata.